Iklim investasi yang kondusif akan mendorong investasi masuk dan menyerap tenaga kerja (naker). Adapun target investasi sejak tahun 2019 hingga 2023 selalu berhasil direalisasikan oleh pemerintah. Namun, realisasi investasi yang tinggi tersebut belum diimbangi dengan penyerapan tenaga kerja yang optimal. Adapun rasio atau perbandingan antara penyerapan tenaga kerja dan nilai investasi, makin kecil setiap ganti tahun. Berdasarkan data Kementerian Investasi/ Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), pada 2013, setiap Rp 1 triliun investasi masih bisa menyerap sampai 4.594 tenaga kerja. Dari waktu ke waktu, jumlah itu terus turun. Pada 2016, Rp 1 triliun investasi hanya bisa menyerap 2.272 orang dan pada 2019, investasi Rp 1 triliun hanya mampu menyerap 1.277 orang. Penyusutan terus berlanjut sampai tahun 2022, yakni dari Rp 1 triliun investasi tercatat hanya mampu menyerap tenaga kerja 1.081 orang. Setahun kemudian, pada 2023, mengalami sedikit perbaikan di mana dari Rp 1 triliun investasi, bisa menciptakan lapangan kerja untuk 1.285 orang. Namun, angka ini pun hanya sekitar seperempat dari angka tenaga kerja yang diserap sepuluh tahun sebelumnya.
Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menjelaskan, agar setiap investasi mampu menyerap tenaga secara lebih maksimal maka perlu diwujudkan iklim investasi yang baik, sehingga investor yang mencari efisiensi (efficiency seeker) tertarik untuk masuk. “Mereka biasanya masuk dengan membawa teknologi, skill, dan human Capital yang berkualitas. Jika tidak, maka mereka akan fokus berinvestasi di negara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, bahkan Kamboja. Akhirnya, yang akan ke Indonesia hanyalah para resources seeker, atau pencari sumber daya alam (SDA) saja. Intinya, deindustrialisasi harus dihentikan, industrialisasi harus digelorakan lagi,” kata dia kepada Investor Daily, baru-baru ini. Sektor-sektor yang harus didorong oleh pemerintah untuk menciptakan lebih banyak lapangan kerja, menurut dia, seperti sektor yang merupakan kantung kemiskinan, sektor yang menciptakan lapangan kerja, dan sektor yang mempunyai daya saing. Dalam konteks ini, sektor pertanian perlu didongkrak produktivitasnya dan didorong menuju agroindustry, demikian juga perikanan dan peternakan tertentu.
“Sektor manufaktur perlu diberi prioritas, insentif pajak, dan diindarkan dari ekonomi biaya tinggi. Kita masih punya peluang besar di industri yang merupakan turunan produk SDA kita (nikel, tembaga, CPO, dan kayu). Sektor industri kreatif dan pariwisata berpotensi, dan efektif untuk mengembangkan ekonomi berbagai daerah. Sektor otomotif dan EV masih berpotensi besar,” jelas dia. Sektor perumahan, selain untuk mengurangi backlog rumah, jelas dia, juga mempunyai impak terhadap 140-an sektor dan sub-sektor lain, menciptakan lapangan kerja skilled and unskilled, serta memanfaatkan produk dengan local content tinggi. Wijayanto juga menjelaskan, penyebab rasio penyerapan tenaga kerja atas realisasi terus menurun disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, investasi yang dilaksanakan lebih berorientasi padat modal, bukan padat karya. Hal ini contohnya adalah IKN, kereta cepat, jalan tol yang tidak menghubungkan sentra-sentra ekonomi, investasi sektor pertambangan dan mineral, properti kelas atas.