Perjanjian investasi internasional juga tak selalu mulus untuk dijalankan. Apalagi kondisi perekonomian global bersifat dinamis.
Kepemimpinan Indonesia dalam Presidensi G-20 di 2022 dan keketuaan ASE-di 2023 merupakan modal penting untuk menjalin kerja sama perjanjian investasi internasional. Dari dua hajat internasional itu. Indonesia kian dipandang oleh banyak negara. Karenanya, penting untuk bisa memanfaatkan hal itu sebagai jalan untuk mendapatkan perjanjian investasi dan berbagai negara.
Demikian disampaikan Deputi Bidang Kerja Sama Penanaman Modal di Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Tirta Nugraha Mursitama dalam Executive Forum bertajuk Diseminasi Kerja Sama Internasional di Bidang Investasi yang diselenggarakan Media Indonesia. Jakarta, Jumat (13/12).
Pemerintah, imbuh Tirta, menginginkan perjanjian investasi internasional yang dilakukan dapat membuka jalan bagi para investor dan pelaku usaha global untuk berusaha di Indonesia. “Kita mau fungsi dari investasi internasional itu membuka jalan bagi para investor, pelaku usaha. Ketika mereka berinvestasi di negara kita. mereka sudah aman, mereka sudah nyaman.” tuturnya.
“Karena ada dua unsur, yang pertama ada unsur proteksi, penjaminan, kalau saya investasi, saya diperlukan dengan baik. Dan juga ada yang kedua unsur komersial. Kita buka pasar yang besar.” lanjutnya.
Saat ini setidaknya Indonesia memiliki 22 bilateral investment treaties (BITs) dan 13 treaty with investment provision (TIPs) dengan sejumlah negara dan kawasan. Selain dua jalur perjanjian itu. terdapat jalur lain, yakni investment related instrumen yang perjanjiannya dapat mengikat atau pun tidak mengikat.
Tirta menuturkan perjanjian investasi internasional dari berbagai saluran itu penting lantaran dapat membuka jalan, hingga mempromosikan bagaimana perkembangan yang ada di Indonesia. Informasi itu merupakan titik awal bagi negara-negara dan potensial investor mau melirik dan menempatkan modalnya di Indonesia.
BKPM sebagai institusi yang mengurusi perihal penanaman modal juga dipastikan akan terus mengawal proses investasi sedari hulu hingga hilir, mulai dari tahapan awal hingga investor menjalankan bisnisnya. “Jadi mengawal sampai halaman ground breaking, komersial bahkan selama implementasi kalau ada masalah juga ada di kami.” jelas Tirta.
Dari berbagai perjanjian investasi Internasional yang telah dilakukan pemerintah, lanjut Tirta, setidaknya terdapat 8 yang berada dalam fase pra negosiasi. yakni dalam tahap penjajakan. Lalu sebanyak 12 perjanjian tengah dalam tahap negosiasi itu seperti IEU-CEPA dan IPA: RI Mercosur. RI-Canada: ASEAN-Hong Kong: ASEAN-Canada: ASEAN Tiongkok: ACIA. BIT RI-KZ: IA ILTO-TETO: BITRl-TL dan I-GCC EPA.
Lalu 19 perjanjian internasional investasi sedang dalam fase ratifikasi. Kemudian 13 Perjanjian Perdagangan Bebas (Free Trade Agreement/FTA.) dan CEPA. serta 22 perjanjian bilateral investasi dalam tahap implementasi, dan 26 perjanjian telah determinasi. “Ini gambaran terkait dengan bagaimana investasi internasional dan di Indonesia itu banyak sekali yang sebenarnya kita bisa manfaatkan.” jelas Tirta.
Dia menerangkan, perjanjian investasi internasional juga tak selalu mulus untuk dijalankan. Apalagi kondisi perekonomian global bersifat dinamis. Itu berdampak pada model perjanjian investasi bilateral yang ikut berubah. Pada model terbaru, misalnya, terdapat standar substansi perjanjian yang dirumuskan berdasarkan prinsip umum (perjanjian investasi internasional.
Lalu klausula rights to regulate (hak untuk mengatur) menjamin ruang bagi negara untuk mengatur regulasi dan kebijakan di bidang investasi dalam negeri. Kemudian terdapat klausula safeguards yang merupakan pengaman yang membatasi celah bagi investor untuk menggugat pemerintah melalui forum Investor-State Dispute Settlement (ISDS).
Politik Luar Negeri Untungkan Indonesia
Politik luar negeri bebas aktif yang digunakan Indonesia di panggung internasional memberikan ruang yang besar untuk bisa melakukan kerja sama ekonomi dengan negara mana pun. Itu termasuk menjadi salah satu elemen penting yang memungkinkan Indonesia bergerak lincah menarik investasi dari berbagai negara.
“Peran Indonesia sangat baik, sangat strategis. Karena kita mengikuti semua forum-forum, baik bilateral, regional maupun multilateral. Khususnya multilateral ini kita punya kepentingan luar biasa. Sesuai dengan politik luar negeri kita, bebas aktif, kita tidak memihak. Yang paling penting adalah kita mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya untuk dalam negeri.” ujar Tirta.
Dia mengatakan, pemerintah yang saat ini lengah aktif bergabung dengan banyak blok ekonomi seperti OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). BRICS (Brazil Russia. India. China. South Africa), dan perjanjian dagang seperti IEU-CEPA (Indonesia – European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement), dan CPTPP (Comprehensive and Progressive Agreement for Trans pacific Partnership) akan memberikan dampak positif bagi investasi ke Tanah Air.
Pasalnya, aspek perdagangan dan investasi amat berkaitan erat. Karenanya. Tirta meyakini upaya pemerintah dari sisi ekonomi dan perdagangan internasional juga akan memberikan rembesan pada sisi investasi. Untuk itu. Indonesia juga mempersiapkan diri untuk menerima investasi potensial yang akan masuk ke dalam negeri.
“Jadi kita berusaha, makanya antara perdagangan dan investasi dan industri itu mesti bisa seiring, nempel bersama-sama. Memang tantangannya adalah kita mengidentifikasi industri-industri apa. Katakan lah memproduksi produk-produk manufaktur yang kemudian satu sisi mungkin masih perlu dilindungi. Sehingga perdagangan agak kita tutup sedikit. Itu yang penting. Nah investasinya kita channel-kan ke situ. Ini gambar besarnya. Tapi kemudian intinya kita tidak memihak kepada satu negara lain atau blok negara-negara yang lain.” jelas Tirta.
Manfaat Gabung OECD
Lebih jauh. Tirta menuturkan, aksesi Indonesia pada Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organization for Economic Cooperation and Development/OECD) akan memberikan dampak positif bagi kinerja investasi ke depan.
Keanggotaan Indonesia dalam OECD dapat menjadi katalis reformasi struktural: meningkatkan daya tarik investasi: peluang berpartisipasi dalam penyusunan standar OECD: memberi sinyal Indonesia siap menjadi negara maju: meningkatkan citra Indonesia dimata dunia: dan membuka jejaring global yang lebih luas.
“Indonesia telah menjadi mitra strategis OECD sejak 2007 bersama dengan Brasil. Tiongkok, India, dan Afrika Selatan, dan menjadi kandidat negara aksesi pertama dari Asia Tenggara pada Februari 2024,” jelas Tirta.
Khusus pada aspek investasi. Indonesia juga cukup ditantang untuk bisa memperbaiki berbagai hal agar sesuai dengan standar yang ada di OECD. “Itu ada sekitar 26 instrumen yang terkait dengan investasi yang harus kita review.
26 instrumen ini kira kira ada perspektif, ada aturan-aturan, ada yang tebal, ada yang tipis, dan kita mencocokkan dengan partner-partner yang Indonesia punya.” sambung Tirta.
Dalam konteks itu. Indonesia harus bisa memenuhi ketentuan yang berlaku di OECD. Karenanya, pengambil kebijakan tak akan segan untuk mereduksi, atau balikan membual aturan baru agar sesuai dengan praktik terbaik yang digunakan oleh OECD. Hanya, Tirta menegaskan itu bukan berarti Indonesia serta merta tunduk pada kekuatan asing.
“Itu normal di global sekarang, rezim internasional itu sudah mengarahkan bahwa. mau tidak mau, suka atau tidak suka, rezim internasional membawa kita kepada suatu kondisi yang terstandar dengan aturan bagaimana berhubungan internasional khususnya menjaga negara-negara maju, termasuk investasi,” jelasnya.
Peluang investasi dari keanggotaan OECD juga diharapkan dapat mendukung optimalisasi hilirisasi yang sedang digaungkan pemerintah. Para penanam modal diharapkan mau menanamkan modalnya pada 28 komoditas unggulan yang dimiliki Indonesia untuk dilakukan penghiliran.
Sebanyak 28 komoditas unggulan itu dibagi ke dalam tiga sektor, yakni Minerba (Mineral dan Batubara): Migas (Minyak dan Gas Alam): dan perkebunan, kelautan, perikanan dan kehutanan. Dari sektor minerba. terdapat potensi investasi sebesar US$498.4 miliar. Lalu dan sektor migas terdapat potensi investasi senilai US$68.3 miliar, dan potensi investasi di sektor perkebunan, kelautan, perikanan dan kehutanan sebesar US$51.4 miliar.
Adapun sejauh ini kontribusi hilirisasi terhadap investasi di dalam negeri setiap triwulan berkisar 20% hingga 22%. Pada periode Januari-September 2024. investasi di bidang hilirisasi tercatat mencapai Rp272,91 triliun. Investasi di sektor mineral mendominasi dengan nilai Rp170,78 triliun. Lalu diikuti oleh investasi di sektor pertanian sebesar Rp44,09 triliun, sektor kehutanan Rp33,72 triliun, sektor migas Rp 17,46 triliun, dan ekosistem kendaraan listrik (electric vehicle) sebesar Rp6,86 triliun.
Tirta menyadari investor membutuhkan pemanis untuk mau menanamkan modalnya di Indonesia dan ikut mendukung agenda hilirisasi yang dijalankan pemerintah. “Investor datang ke kita itu ada beberapa fasilitas yang kemudian semakin menarik, jadi investor itu mau dalang.” Jelasnya.
Karenanya, pengambil kebijakan menyediakan beragam insentif kepada para penanam modal. Insentif itu berupa fasilitas perpajakan seperti Tax Holiday: Fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau daerah-daerah tertentu (tax allowance).
Lalu fasilitas pengurangan penghasilan neto atas penanaman modal baru atau perluasan usaha pada bidang usaha tertentu yang merupakan industri padat karya (investment allowance): dan fasilitas vokasi dan penelitian pengembangan (super tax deduction).
Buka Diplomasi Mineral
Di kesempatan yang sama. Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (ClDE) Anton Aliabbas menyampaikan perlunya bagi Indonesia untuk membangun diplomasi mineral kritis dalam urusan kerjasama investasi internasional. Itu karena mineral kritis merupakan salah satu daya tawar, atau keunggulan yang dimiliki oleh Indonesia.
Indonesia, kata Anton, dapat meniru apa yang telah dipraktikkan oleh Jepang dan Australia, yakni melakukan kerja sama mineral kritis berupa lithium. Itu merupakan bentuk diplomasi yang diperlukan Indonesia agar potensi mineral kritis yang ada di Tanah Air dapat betul-betul termanfaatkan untuk kepentingan negeri.
“Bagian mineral kritis ini kita ada kontribusi dan peran jika mau mengambil langkah diplomasi itu. Karena pendekatan itu tidak sekadar hubungan bilateral ataupun multilateral. tetapi setidaknya kerja sama itu akan menuju pada titik kestabilan pasar. Cadangan nikel kita ini 40% dunia, tapi kalau pasar tidak stabil, kita mau jual ke mana? Untuk itu kita bisa meniru yang dilakukan Australia dan Jepang, memastikan pasar lithium, mereka kerja sama sendiri.” jelasnya.
“Perlu ada diplomasi mineral. India juga lakukan itu, karena kemudian jangan sampai SDA yang kita miliki semakin tidak optimal gap kita biarkan. India sudah mencontohkan bagaimana GtoG (government to government) dengan Argentina, dan BtoB (business to business) untuk memastikan eksplorasi lithium. Itu jelas tujuannya adalah untuk mengurangi ketergantungan terhadap Tiongkok, karena India juga salah satu negara yang amat bergantung dengan Tiongkok.” tambah Anton.
Nama Media: Media Indonesia
Narasumber: Deputi Bidang Kerjasama Penanaman Modal di Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Tirta Nugraha Mursitama, Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (ClDE) Anton Aliabbas